Showing posts with label Review Training Ribka Imari. Show all posts
Showing posts with label Review Training Ribka Imari. Show all posts

Mengasuh Inner Child, Kunci Bahagia Mendampingi Buah Hati dan Suami. (Review Training MIC With Ribka Imari)

Kunci bahagia mendampingi anak dan suami
Sumber: Pinterest.com

Bulan Desember yang lalu, saya sempat ngobrol dengan seorang rekan via social media. Saya mengenal Mbak Ribka Imari sebagai mentor mengasuh inner child dari salah seorang teman saya tersebut.

Kami juga pernah berbicara tentang masa lalu masing-masing.  Ternyata ada sisi dalam diri atau inner child yang rapuh, terluka, dan terbawa dalam kehidupan dewasa. Ada jiwa anak kecil yang rapuh dalam tubuh dewasa.

Lama tidak saling berkomunikasi memang, akhirnya kami berdua ngobrol lagi di WA. Semakin merasa aura postif dan salut juga dengan teman saya ini, soalnya dengan permasalahan hidup yang cukup berat menurut saya, dia bisa tetap bertahan dan menerima hidupnya.

Dia bilang semua ini perjalanan panjang, sempat mengalami tekanan, bullyan, bahkan kehidupan rumah tangga yang penuh konflik pun akhirnya bisa dilalui. Dulu kami pernah pengen banget sukses bisnis. Dia suka membuat kue, saya jualan daster. (Soalnya saya enggak bisa bikin kue padahal ibu pinter bikin bolu dan kue yang lezat, sayang anaknya enggak. Haduh ...)

Saya akhirnya memilih fokus ke dunia menulis dulu sedangkan dia tetap berbisnis. Akhirnya kami berdua sepakat juga bahwa selain impian yang pengen Kita capai buat sukses, ternyata ada hal yang menjadi prioritas yaitu keluarga kecil kami. Dia bercerita ikut berbagai kelas bisnis, nulis, dan juga terapi diri. 

Perempuan dengan segala permasalahannya, ada sisi rapuh dalam diri dan juga kekuatan luarbiasa yang dimilikinya.  Ternyata saya enggak sendiri. Sebagai sesama perempuan tidak baik juga jika saling menghakimi atau merasa diri lebih baik dari orang lain.

Di kelas mengasuh inner child awal januari lalu bersama Mbak Ribka memang diajarkan untuk lebih peka terhadap diri, lebih menyanyangi diri sendiri bahkan bisa memeluk, menerima dan mencintai diri sendiri meski masih merasa banyak kekurangan.

Saya pernah punya pengalaman masa kecil yang masih teringat sampai sekarang. Dulu alm nenek yang mengantar jemput saya ketika masih TK, sedangkan yang lain diantar jemput ibu atau ayahnya. Ibu saya kerja jadi waktu TK enggak pernah dianter ibu, hanya sama nenek aja. Saya padahal pengen juga dianter ibu. Kok, saya jadi mellow ya, inget alm nenek yang sudah 2 th berpulang. Rasanya kangen banget. Semoga nenek tenang di sisi-Nya dan surga adalah tempat kembali.

Makanya saya jadi pengen banget mendampingi anak saat pertama masuk sekolah mungkin karena dulu belum kesampaian kali, ya. Ada jiwa inner child dalam diri yang menginginkan agar anak saya tidak merasa sedih tidak diantar ibu seperti saya semasa kecil. Bentar lagi Dzaky sekolah jadi ikut seneng, ngebayanginnya anak saya sekolah. Ternyata udah gede lagi, padahal masih inget dulu pas masih babby.

Saat sekolah dulu, ibu adalah seorang guru. Saya inget banget harus belajar rajin dan dapat hasil terbaik. Masih SD sih juara kelas 1-2, tapi prestasi nurun setelah SMP dan SMU. Pernah pas bagi rapor SMP atau SMU nilai saya 6 gitu ya di rapor, lupa pelajaran matematika atau fisika, saya dimarahin ibu pas keluar bagi rapor. Temen-teman pada ngelihatin. Duh, saya jadi malu. 

Pulang ke rumah harus belajar, padahal udah libur sekolah, pengennya liburan tapi harus baca buku dan belajar buat next catur wulan. Zaman saya masih catur wulan soalnya. Zaman kapan tuh, hehe ... but it's oke lah itu, kan, dulu, saya udah enggak mempermasalahkannya lagi. Saya belajar acceptance alias menerima mungkin ortu atau ibu pengen yang terbaik menurut versinya.

Cerita inner child saya di masa lalu memang tak hanya ini saja sebenarnya. Jika digali lebih jauh sampai akarnya mungkin tak kan cukup hanya di satu blog post saja.

Bercerita soal keluarga kecil saya, mengenai pasangan atau anak. Meski sudah lima tahun berumah tangga, masih tetap saja ketemu berbagai perbedaan pendapat dan kadang bikin nyesek. Saya maunya begini, dia maunya saya begitu.

Akhirnya saya juga berdamai dengan diri, ya sudahlah saya terima kadang ada sikap yang saya inginkan belum terealisasi pada pasangan karena dia juga punya pendapat sendiri. Mungkin saat saya badmood sama dia, dia pun merasakan hal yang sama. Ada hal dalam diri saya yang bikin dia bete juga. Jika masih bisa sikap yang diperbaiki, kami pun belajar memperbaikinya.

Bumbu-bumbu dalam rumah tangga itu biasa. Dulu Kami bisa sama-sama panas kalau ada hal yang disampaikan dengan emosi. Dia diem, eh saya makin kesel dan ikut bete. Saya marah, eh dia ikut marah. Nah, loh. Baiklah ... itu kan dulu, kalau sekarang sudah sama-sama paham.

Pernah sampai pernikahan di ujung tanduk juga karena ego berdua tapi  akhirnya bisa melewati itu semua. Sekarang kalau inget itu cukup jadi pembelajaran saja. Sama-sama saling belajar dan memperbaiki diri juga sih setelahnya.

Sekarang cukup tahu, sih, setelah ngobrol satu sama lain, ternyata dia enggak suka saya cerewetin. Jadi saya tahu ngomongnya cukup sekali aja apalagi kalau ingetin makan, salat, ke masjid. Ya sudahlah enggak usah berkali-kali, kalau dia kesel dan kelihatan marah sambil ngomong apa gitu, ya udah terima aja mungkin ada benarnya juga. Dulu suka saling marahan sih, sekarang udah enggak terlalu sering karena udah saling belajar mengenal karakter masing-masing. 

Saya juga belajar melepaskan harapan yang saya inginkan pada diri suami, alhamdulillah lebih lega sih jadi enggak punya keluhan berarti. Sekarang jadi lebih tahu bagaimana bersikap. Suami beda dengan bapak atau yang lainnya. Enggak bisa dibandingkan. Meski ada hal  dalam diri bapak atau ayah yang saya harap dicontoh suami, tapi saya enggak lagi memaksakan itu. Toh, suami saya punya kelebihan yang mungkin enggak dimiliki yang lain. Fokus lihat kebaikannnya aja.

Soal anak kadang saya suka greget kalau dia aktif banget, padahal ya namanya anak jagoan. Udah biasa kalau suka berantakin rumah, lari-lari terus-terusan di rumah, naik turun tangga, susah disuruh Mandi, makannya lama dikunyah, dll. Maybe bukan dia aja kali, ya, anak yang lain juga gitu. Padahal kalau diinget-inget, baik sih anakku, enggak rewel kalau diajak ke mana-mana, malah saya yang rewel karena suka mabuk kendaraan. Ya ampun.

Kalau dipikirin, terkadang anak itu bisa sangat manis, ya.Kadang dia peluk atau cium pipi terus bilang sayang mama. Itu pun udah bikin meleleh. Pernah saya kesel dan marah sama dia. Apa mungkin karena saya dulunya suka dimarahin ibu, saya juga jadi melakukan hal yang sama secara tak disadari?

Akhirnya saya ingin memutus mata rantai itu, biarlah yang dulu pernah ibu lakukan saya maklumi. Saya belajar melepaskan mental korban, yang berandai-andai coba dulu enggak diperlakukan begini atau begitu, mungkin keadaan akan lebih baik. 

Saya juga udah minta maaf sama ibu. Alhamdulillah yang namanya orang tua lautan maafnya seluas samudera. Makin ke sini saya makin sayang sama kedua orang tua, karena saat saya lemah, terpuruk, sakit mereka selalu ada. Alhamdulillah kebaikan mereka lebih banyak ternyata kalau dilist satu demi satu.

Soal melepaskan mental korban ini, dulu saya termasuk yang cukup sensitif terhadap ucapan atau omongan yang kurang sreg di hati. Istilahnya High Sensitive Person (HSP). Alhamdulillah sekarang sudah enggak terlalu baper, biarlah mungkin yang berbicara merasa benar versinya sendiri.

Saya mencoba berpikir lagi siapa tahu yang orang bicarakan memang benar. Jika iya, mungkin diri yang harus berubah lebih dulu. Jika yang dibilang orang lain enggak benar dan bisa kita luruskan, ya .. luruskan kesalahpahamannya, kalau sekiranya nanti bakal jadi konflik yang meruncing, maka lebih baik diam. Daripada berkata hal yang kurang baik memang lebih baik diam, sih.

Senang sekali ikut training mengasuh inner child bareng Mbak Ribka Imari. Seminggu yang padat dan penuh hikmah. Alhamdulillah. Masih jadi pe er buat saya kontrol emosi dengan pausing. Coba tarik napas tahan sebentar, jangan marah apalagi sama anak. Kadang masih kelepasan juga sih, tapi lagi belajar untuk melancarkan teknik ini.

Pada akhirnya maafkanlah kesalahan orang lain karena mungkin diri sendiri juga pernah atau mungkin banyak berbuat salah. Itu akan lebih melegakan jiwa. Insyaallah ikhtiar saya untuk sehat juga berbuah manis nantinya. Next postingan mungkin saya cerita lebih lanjut  tentang itu dan alasan jarang atau kurang aktif nulis kaya dulu.

Hal penting lain dari mengasuh inner child adalah soal menggali inner child atau mungkin bisa trauma di masa lalu, mengelola emosi dengan positif, menghapus mental korban, acceptance atau penerimaan mendasar udah pelan-pelan saya terapkan. Intinya memang untuk memutus mata rantai inner child yang terluka ada pada diri Kita sendiri. 

Terima kasih Mbak Ribka Imari. Seneng banget bisa ikut kelasnya. Kuncinya berserah diri, berdoa,  dan berusaha agar bisa mendampingi anak dan suami dengan perasaan bahagia.


"To Find Happiness, Heal Your Inner Child." (Anonim)



Salam,